13 Mei 2010

Saling Menerima

Rebecca duduk di ruang istirahat seusai membawakan seminar bertema keluarga.

“Apa yang kau bawakan tadi sangat memberkati para peserta,” kata Jane, seorang ibu yang saat itu menemaninya.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, mata Rebecca mulai memerah dan genangan air mata memenuhi pelupuk matanya.

“Mereka pasti berpikir bahwa aku ini istri yang baik dan bahagia,” jawab Rebecca.

“Apakah kamu punya masalah serius?” tanya Jane.

“Aku sudah menikah selama 14 tahun dan suamiku adalah pria yang sangat baik. Ia jujur, sabar, penyayang dan memiliki pekerjaan yang mapan. Ia penuh perhatian dan selalu menanyakan keadaanku. Ketika aku harus pergi ke suatu tempat untuk membawakan seminar ataupun acara-acara lainnya, ia selalu menawarkan diri untuk menemani jika ia sedang tidak ada acara. Ia dengan senang hati menyiapkan alat peraga yang kubutuhkan untuk membawakan seminar, termasuk membawa alat peraga dan perlengkapan lainnya ke tempat di mana aku membawakan seminar. Ia baik dan menyayangiku.”

“Sepertinya tidak ada yang kurang?” kata Jane.

“Jane, sudah kukatakan bahwa suamiku sangat baik. Tapi aku menginginkan sosok suami yang bisa memimpin dan bukan melayaniku. Aku mengharapkan agar dia yang lebih terkenal dan menjadi pembicara daripada aku,” jawab Rebecca.

Jane memeluk Rebecca dan memberikan nasihat yang cukup singkat, “Ingatkah engkau janji pernikahan yang kau ucapkan 14 tahun yang lalu? Bukankah engkau sudah berjanji akan menerima dia apa adanya?”

Rebecca terdiam sejenak. Ia mulai menangis, dan sejak saat itu ia tidak lagi mengharapkan agar suaminya menjadi sosok yang ia inginkan. Ia mulai mensyukuri kelebihan-kelebihan yang ada dalam diri suaminya dan menerima segala kekurangannya.

Terkadang kita tidak merasa puas hanya dengan kebaikan, perhatian dan sikap melayani yang pasangan kita lakukan terhadap kita. Idealisme yang terlalu tinggi tidak jarang membuat kita menetapkan standar tertentu untuk pasangan kita. Misalnya: dia harus menjadi orang yang tegas, pintar, berwawasan luas, dan lain-lain. Padahal pasangan kita tidak bisa menjadi apa yang kita inginkan.

Kekecewaan karena pasangan kita tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan akan semakin terasa ketika kita mulai membanding-bandingkannya dengan orang lain.

Suami atau istri anda pasti memiliki kekurangan, tetapi ingatlah bahwa dia juga memiliki kelebihan. Bantulah pasangan anda untuk mengubah kekurangan di dalam dirinya menjadi kebaikan, tetapi terimalah apa yang tidak dapat anda ubah.

Kasih dan penerimaan yang tulus terhadap pasangan membuat anda menerima ketidaksempurnaannya dan tidak mempermasalahkan apalagi meributkannya. Bukankah anda sudah berjanji untuk menerima dia?

-----

Kata-kata bijak:
Bukalah kedua mata anda ketika memilih pasangan, tetapi tutuplah satu mata anda ketika sudah menikah.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 13 Mei 2010 (diedit seperlunya)

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

08 Mei 2010

Membahagiakan Pasangan dengan Memenuhi Kebutuhannya

Simaklah kisah berikut ini:

Ibuku adalah seorang wanita yang sangat baik. Sejak kecil aku melihatnya gigih menjaga keutuhan keluarga kami. Beliau bangun dini hari, memasak bubur untuk ayah karena lambung ayah tidak baik. Setelah itu ia memasak sepanci nasi untuk anak-anaknya.

Setiap sore ibu menyikat panci, sehingga panci di rumah kami bisa dijadikan cermin. Ibuku adalah wanita yang sangat rajin, namun di mata ayah dia bukan pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhanku, tidak hanya sekali ayah menyatakan kesepiannya dalam pernikahan. Ayah tidak memahami ibu.

Ayahku adalah seorang pria yang bertanggung jawab. Tidak merokok, tidak minum minuman keras, serius dalam pekerjaan, berangkat kerja tepat waktu, mengatur jadwal sekolah dan waktu liburan anak-anaknya. Beliau adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anaknya untuk berprestasi dalam pelajaran.

Di mata kami ayah besar seperti langit, menjaga, melindungi dan mendidik kami. Namun di mata ibu, ayah juga bukan seorang pendamping yang baik. Aku kerap melihat ibu menangis terisak-isak di sudut rumah. Ayah menyatakan ketidakbahagiaannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi kepedihan.

Dalam proses pertumbuhan, aku melihat dan mendengar ketidakberdayaan dalam pernikahan orangtuaku, tapi sekaligus merasakan betapa baiknya mereka. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Dua orang yang baik, kenapa tidak memiliki pernikahan yang bahagia?”

Setelah dewasa aku menikah dengan pria yang baik. Di awal pernikahan, aku sama seperti ibu: menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan rumah.

Suatu hari ketika aku sedang membersihkan lantai, suamiku berkata, “Sayang, temani aku sebentar mendengarkan musik.” Dengan mimik tidak senang aku menjawab, “Apa kau tidak melihat bahwa rumah masih belum beres? Anak-anak juga belum menyiapkan perlengkapan mereka!”

Saat kata-kata itu terlontar aku terdiam. Kata-kata itu tidak asing di telingaku, ibuku kerap berkata demikian kepada ayah. Kesadaran muncul dalam batinku bahwa pernikahanku tengah melangkah ke sebuah kisah di mana dua orang yang baik tidak diiringi dengan pernikahan yang bahagia.

Kesadaran itu membuatku bertanya pada suamiku, “Sayang, apa yang kau butuhkan?” “Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengarkan musik. Rumah kotor sedikit tidak apa-apa, nanti akan kucarikan pembantu untukmu! Dengan begitu kau bisa menemaniku,” ujar suamiku.

Sejak hari itu kami menikmati kebahagiaan. Aku belajar membuat daftar kebutuhan suami dan meletakkannya di atas meja, suamiku juga membuat daftar kebutuhanku.

Puluhan kebutuhan yang panjang dan jelas, misalnya: waktu senggang menemani suami mendengarkan musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan dan ciuman selamat jalan bila berangkat kerja, dan seterusnya.

Saat kebutuhan kami terpenuhi, pernikahan yang kami jalani kian hari kian penuh daya hidup.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 8 Mei 2010 (diedit seperlunya)

Judul asli: Apa yang Kau Butuhkan?

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========


Artikel Terbaru Blog Ini