Pak Tio adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan penerbitan. Jarak rumah dengan kantornya sekitar 40 km yang ditempuhnya dengan menggunakan motor. Dia mempunyai istri yang setia dan anak yang cukup berprestasi.
Setiap pagi istrinya berkata, “Hati-hati di jalan, jangan ngebut.” Tetapi tidak jarang pada malam hari suaminya berkata, “Aku tadi emosi, ada pengendara motor yang seenaknya dan aku kejar dia.” “Jangan begitu, biarkan saja, nanti kalau celaka kan repot,” jawab istrinya.
Sabtu dan Minggu adalah hari yang paling pas untuk istri Pak Tio menjalankan fungsinya sebagai 'rem', karena Pak Tio selalu mengantarnya ke pasar atau ke tempat-tempat lain. Beberapa kali terdengar perkataan, “Awas pelan sedikit,” “Jangan terlalu ke kanan,” “Di belakangnya saja, tidak usah mendahului,” “Awas jalanan sempit,” dan masih banyak yang lainnya.
Kadang-kadang Pak Tio kesal dan menjawab, “Ah, adik ini, cerewet banget sih.” Menarik memerhatikan jawaban istrinya, “Kalau aku tidak cerewet, nanti Mas ngebut.”
Ternyata fungsi ini dijalankan istri Pak Tio bukan hanya dalam masalah naik motor, tetapi juga dalam hal-hal lain. Suatu kali Pak Tio mendapat informasi dari temannya tentang seseorang yang memfitnahnya. Dia pun bergegas beranjak dari tempat duduknya dan bermaksud hendak melabrak orang tersebut. Tetapi tangan istrinya menghalanginya dan terucaplah kata-kata, “Sabarlah Mas, jangan keburu nafsu. Siapa tahu maksudnya tidak demikian.” Pak Tio pun mengurungkan niatnya.
Pada kesempatan lain, dia dibuat kesal oleh anaknya yang tidak pamit ketika pergi ke rumah temannya setelah pulang sekolah. Muka seram dan kata-kata keras pun sudah disiapkan menjelang anaknya masuk rumah. Tetapi istrinya berkata, “Nanti jangan dimarahi ya, biarkan dia makan dulu, nanti kita bilangi saja.” Kali ini pun Pak Tio membatalkan rencananya.
Dalam mengambil keputusan pun, istri Pak Tio selalu mengawasinya, siapa tahu keputusan itu dibuat dengan terburu-buru dan berdampak negatif bagi kehidupan bersama.
Bahkan dalam masalah makan pun sering kali dia berkata, “Aku sengaja tidak membelikan roti. Nanti dobel, sudah makan malam tambah roti lagi,” atau “Jangan makan gorengan terus, tidak baik.” Demikian yang dilakukan istri Pak Tio, dia benar-benar bisa mengerem suaminya supaya tidak kebablasan.
Bukan hanya dalam rumah tangga dibutuhkan seseorang untuk mengerem pasangan hidupnya supaya tidak bertindak kebablasan, di tempat ibadah pun dibutuhkan. Adakalanya seseorang melayani dengan emosional, tanpa hikmat. Hal ini bukan saja tidak menjadi berkat, malah bisa menjadi batu sandungan.
Di tempat kerja pun, kita butuh rekan kerja yang bisa mengerem, jika kita berada pada jalur yang salah. Demikian juga di tempat-tempat lain, di lingkungan pemerintahan, di sebuah klub olahraga, dan sebagainya. Sudahkah anda berfungsi sebagai 'rem' bagi mereka yang cenderung kebablasan?
-----
Kata-kata bijak:
Ketika kita tidak bisa mengerem diri sendiri, dibutuhkan orang lain untuk mengerem kita. Jangan menolak mereka.
* * *
Sumber: Manna Sorgawi, 28 Maret 2010 (diedit seperlunya)
Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.
=======
28 Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)