06 Mei 2013

Mengutamakan Keluarga

Chris Spielman adalah pemain bola kenamaan di Liga Nasional Amerika. Publik selalu menantikan penampilannya.

Suatu hari, menjelang dimulainya musim kompetisi, datang berita bahwa istrinya mengidap kanker. Spielman memutuskan untuk berhenti bermain agar bisa merawat istrinya.

Banyak pihak kecewa. Namun, kepada wartawan ia berkata, "Aku berjanji kepada Stefanie untuk menemaninya selama berobat. Berada di sisinya waktu kesakitan, dan merawat keempat anak kami."

Ketika menjalani kemoterapi, rambut istrinya rontok. Spielman pun mencukur habis rambutnya sebagai tanda solidaritas.

Setahun kemudian istrinya meninggal. Spielman bersyukur karena bisa mendampingi istrinya sampai maut memisahkan mereka berdua.

keluarga Chris Spielman

Betapa indah kesaksian hidup pasangan yang bisa menjalankan perannya dengan baik. Dalam Kitab Suci dijelaskan apa peran suami maupun istri.

Suami diminta mengasihi istri "seperti mengasihi tubuhnya sendiri" (Efesus 5:28). Ini tidak mudah. Butuh pengorbanan.

Bagi Spielman, merawat istri berarti mengorbankan kariernya, mengorbankan peluang untuk memperoleh lebih banyak uang dan popularitas.

Begitu pula, seorang istri perlu "tunduk kepada suaminya seperti kepada Tuhan" (Efesus 5:22).

Menundukkan diri butuh pengorbanan harga diri. Tunduk bukan berarti rela ditindas, melainkan belajar menghargai kepemimpinan suami.

Kapan suami istri bisa berkorban? Saat masing-masing mementingkan pasangannya lebih dari diri sendiri. Lebih dari yang lain.

Relasi antara orangtua dan anak pun demikian. Saling berkorban hanya mungkin terjadi jika keluarga diutamakan. Diprioritaskan.

Sudahkah Anda mengutamakan keluarga?

Jika banyak hal lain dijadikan yang utama, anda tak akan rela berkorban bagi keluarga.

* * *

Penulis: JTI | e-RH, 19/9/2011

(diedit seperlunya)

==========

05 Februari 2013

Lanjut Usia

Pada 2011, penduduk dunia tercatat mencapai jumlah sekitar 7 miliar jiwa, dan kira-kira 1 miliar di antaranya adalah warga lanjut usia (lansia). Indonesia menduduki ranking keempat dunia dengan jumlah lansia 24 juta jiwa.

Warga lansia ini cenderung kurang mendapatkan perhatian. Tidak tersedia fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan dan mengarahkan mereka agar tetap sehat, produktif, dan sejahtera.
Ketika kita masih kecil dan belum mampu mengurus diri sendiri, orangtua kita mencurahkan hidupnya untuk merawat, menghidupi, dan melatih kita agar mampu mandiri.

Ironisnya, ketika kekuatan mereka melemah, dan mereka membutuhkan pertolongan orang lain untuk mengurus hidup pada masa tuanya, tak jarang anak-anak meninggalkan mereka berjuang sendiri.

Bagi para lansia, Tuhan berjanji bahwa Dia tidak akan pernah membiarkan kita dan meninggalkan kita seorang diri – sampai rambut kita memutih sekalipun.

“Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus.” (Yesaya 46:4)

Bagi para anak, firman Tuhan itu mengundang kita untuk merelakan diri dipakai oleh-Nya dalam mewujudkan janji-Nya kepada orangtua, dengan merawat dan mendukung mereka. Bersediakah kita? —Susanto

Anak yang dibiarkan tidak hormat pada orangtua tidak akan hormat terhadap siapa saja. ~Billy Graham

* * *

Sumber: e-RH, 17/1/2013 (diedit seperlunya)

==========

01 Januari 2013

Roti Gosong

Saat Alin masih kecil, ibunya menyajikan makan malam berupa telur goreng, saus, dan beberapa potong roti. Mungkin karena lelah setelah bekerja seharian, ibu Alin memanggang roti sampai gosong.
Alin tegang menunggu respons ayahnya. Ternyata, sang ayah mengambil roti itu sambil tersenyum, memolesnya dengan mentega, lalu memakannya dengan lahap. Ibu Alin meminta maaf, tetapi suaminya menjawab, "Tidak apa-apa, Sayang."

Sebelum tidur, Alin menghampiri ayahnya dan bertanya, mengapa ayah mau makan roti gosong. Sambil memeluknya, si ayah berkata, "Ibumu sudah lelah bekerja. Lagi pula, kita tidak akan sakit karena memakan roti gosong. Bersyukur saja ia masih bersama kita."

Hidup kita juga berisi banyak hal yang tak sempurna. Selain keberhasilan dan kebahagiaan, ada berbagai kegagalan dan kekecewaan.

Saat merenung ke belakang, manakah yang menjadi fokus kita? Bagian yang negatif, yang membangkitkan keluh kesah? Atau, bagian yang positif, yang membuat hati kita membara dengan pujian dan syukur?

Sepatutnya kita bersyukur atas kebaikan Tuhan yang melimpahi dan melingkupi kita. Ya, kasih-Nya nyata dalam berbagai aspek kehidupan.

(1) Pengampunan-Nya yang tak ternilai dan undangan-Nya untuk menikmati damai bersama-Nya.

(2) Penyelamatan-Nya dari kebinasaan kekal, juga kebajikan dan mukjizat-Nya yang mengikuti kita.

(3) Serta pintu kesempatan dan mata pencaharian yang Dia sediakan untuk memberi kita kecukupan.

Sungguh suatu berkat indah yang memahkotai tahun-tahun kita, bukan? —AW

Selama jantung kita masih berdetak, berarti kita masih dapat bersyukur menghitung berkat Tuhan.

* * *

Sumber: e-RH, 1/1/2013 (diedit seperlunya)

==========


Artikel Terbaru Blog Ini