Saat Alin masih kecil, ibunya menyajikan makan malam berupa telur goreng, saus, dan beberapa potong roti. Mungkin karena lelah setelah bekerja seharian, ibu Alin memanggang roti sampai gosong.
Alin tegang menunggu respons ayahnya. Ternyata, sang ayah mengambil roti itu sambil tersenyum, memolesnya dengan mentega, lalu memakannya dengan lahap. Ibu Alin meminta maaf, tetapi suaminya menjawab, "Tidak apa-apa, Sayang."
Sebelum tidur, Alin menghampiri ayahnya dan bertanya, mengapa ayah mau makan roti gosong. Sambil memeluknya, si ayah berkata, "Ibumu sudah lelah bekerja. Lagi pula, kita tidak akan sakit karena memakan roti gosong. Bersyukur saja ia masih bersama kita."
Hidup kita juga berisi banyak hal yang tak sempurna. Selain keberhasilan dan kebahagiaan, ada berbagai kegagalan dan kekecewaan.
Saat merenung ke belakang, manakah yang menjadi fokus kita? Bagian yang negatif, yang membangkitkan keluh kesah? Atau, bagian yang positif, yang membuat hati kita membara dengan pujian dan syukur?
Sepatutnya kita bersyukur atas kebaikan Tuhan yang melimpahi dan melingkupi kita. Ya, kasih-Nya nyata dalam berbagai aspek kehidupan.
(1) Pengampunan-Nya yang tak ternilai dan undangan-Nya untuk menikmati damai bersama-Nya.
(2) Penyelamatan-Nya dari kebinasaan kekal, juga kebajikan dan mukjizat-Nya yang mengikuti kita.
(3) Serta pintu kesempatan dan mata pencaharian yang Dia sediakan untuk memberi kita kecukupan.
Sungguh suatu berkat indah yang memahkotai tahun-tahun kita, bukan? —AW
Selama jantung kita masih berdetak, berarti kita masih dapat bersyukur menghitung berkat Tuhan.
* * *
Sumber: e-RH, 1/1/2013 (diedit seperlunya)
==========