Beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi anak seorang sahabat yang dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan tak terduga yang dialaminya.
Kecelakaan itu terjadi pada waktu ia belajar naik sepeda motor. Yang mendampingi dan melatihnya adalah ayahnya sendiri, sahabat saya itu.
Setelah sekian lama berlatih keseimbangan dengan naik sepeda kayuh, ayahnya kemudian menyerahkan sepeda motor kepada anak ini dan ia langsung tancap gas.
Rupanya, karena bingung bercampur gugup, anak ini tidak mampu mengendalikan sepeda motornya dan kemudian menabrak sebuah pembatas beton di pinggir jalan.
Ia langsung terjungkal dari sepeda motor, pingsan dengan kondisi yang cukup parah. Rahang wajah bergeser, demikian pula sejumlah tulang tangan. Di sana-sini luka dan berdarah.
Siapa yang paling merasa bersalah? Sahabat saya itu. Saya dapat menangkap kesan menyesal dan rasa bersalah yang mendalam di raut wajahnya pada waktu bertemu dengannya di ruang rawat inap anaknya.
Sebagai ayah yang seharusnya melindungi dan menjaga anaknya, tentu sebuah kesalahan yang terasa berat sekali untuk ditanggung bila karena kelalaiannya anaknya malah mendapat celaka. Rasa-rasanya, apa pun rela dibayar demi menghapus derita anak.
Sepulang dari rumah sakit saya berbincang dengan istri saya. Kami sepakat bahwa sebagai orangtua tentu berat rasanya menghadapi kenyataan penderitaan anak yang seperti itu.
Adakah penghiburan bagi para orangtua yang dirundung sedih dan duka akibat perbuatannya kepada anak-anaknya? Adakah penghiburan bagi mereka yang karena perbuatan baiknya telah menyebabkan orang-orang yang mereka kasihi malah celaka, sakit, dan bahkan meninggal dunia?
Ada kabar yang menghibur dari Tuhan untuk siapa saja yang selama ini sedang dibelenggu oleh “perhambaan” rasa bersalah, penyesalan berkepanjangan, malu, dan terhina. Tuhan menghibur kita dengan kabar indah yang menenangkan hati.
Ia berkata bahwa masa pergulatan dengan perasaan-perasaan itu sudah berakhir. Kita tidak perlu lagi merasa sedih, bersalah, malu, menyesal, dan bahkan takut.
Segala kesalahan, kelalaian, dan kecerobohan yang telah menimbulkan perasaan-perasaan yang merenggut energi hidup itu kini “telah diampuni”. Tuhan dengan senang hati mau mengampuni dan sudah mengampuninya. —Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 11/12/2012 (diedit seperlunya)
==========