24 Desember 2010

Komitmen dalam Pernikahan

Komitmen merupakan faktor yang sangat penting dalam membangun keluarga bahagia. Komitmen adalah janji untuk melakukan sesuatu.

Ketika seseorang berkomitmen terhadap kebahagiaan keluarganya, maka ia akan melakukan apa saja agar dapat menciptakan kebahagiaan di dalam keluarganya.

Dewasa ini banyak pernikahan yang diguncang oleh perceraian. Pada generasi-generasi sebelumnya, perselisihan dalam rumah tangga merupakan hal yang biasa terjadi dan tidak mudah diakhiri dengan perceraian.

Suatu permasalahan malah bisa mendewasakan pasangan suami istri. Tetapi sekarang ini, permasalahan sering kali berakhir dengan perceraian.

Anak-anak yang menjadi korban perceraian pun mengalami guncangan jiwa yang dapat berpengaruh pada mental dan perilakunya.

Salah satu alasan mengapa orang cepat mengambil keputusan untuk bercerai adalah kurangnya komitmen terhadap pernikahan.

Ada sebuah pernyataan bagus dari Josh McDowell kepada anaknya, “Aku mencintai ibumu dan aku mencintai keluargaku, itu sebabnya aku tidak akan pernah bercerai.”

Jika pasangan suami istri memiliki komitmen yang besar terhadap pernikahan, maka kemungkinan untuk mendapatkan keluarga bahagia akan semakin besar.

Kekuatan sebuah komitmen akan mampu mengalahkan kesulitan dan guncangan sebesar apa pun yang datang menerpa keluarga mereka.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 24 Desember 2010 (diedit seperlunya)

==========

08 September 2010

Pentingnya Keterbukaan

Setiap orang yang melihat pasangan suami istri ini pasti akan berkata, “Harmonis sekali ya.” Mereka pergi ke gereja bersama-sama, pergi ke tempat pelayanan pun berdua. Bahkan ketika ke pasar untuk berbelanja mingguan, sang suami pun ikut serta.

Namun, tidak disangka-sangka pada suatu hari sang suami menemui hamba Tuhan dan berkata, “Pak, saya sudah tidak tahan lagi hidup bersamanya.” “Maksud Bapak?” tanya hamba Tuhan.

“Saya merasa dibohongi. Selama dua bulan terakhir ini, baru ketahuan kalau dia punya banyak masalah keuangan. Yang membuat saya bertambah kesal karena saya tahu dari orang lain yang bermasalah dengan dia. Saya tidak tahu uang itu digunakan untuk apa. Saya sudah berusaha jujur kepadanya, tetapi dia sendiri malah yang tidak jujur,” jelas sang suami.

Hamba Tuhan itu coba meng-konfrontir penjelasan tersebut kepada sang istri yang kebetulan juga datang untuk berkonsultasi tentang suaminya yang akhir-akhir ini sering marah.

Sang istri menjelaskan, “Saya tidak bermaksud membohongi suami. Saya hanya tidak mau suami saya patah semangat ketika harus memikirkan ini dan itu. Saya berjuang untuk mengatasinya, tetapi belum bisa sampai sekarang.”

Komunikasi langsung sangat penting dalam kehidupan kita, termasuk dalam kehidupan berumah tangga. Jika segala sesuatu dikomunikasikan secara langsung, maka hal ini akan membuat pasangan kita tahu alasan kita melakukan sesuatu dan ia tidak bertanya-tanya dan menduga-duga.

Mengomunikasikan segala sesuatu secara langsung akan sangat meringankan beban pasangan kita, karena kita tidak memaksa dia untuk menjadi paranormal yang dapat membaca pikiran orang.

Di samping itu, jika ibu di atas mengomunikasikan keinginannya untuk membantu suaminya, mungkin saja suaminya punya ide yang lebih baik, atau suaminya dapat melihat hal-hal yang dapat membahayakan mereka di masa depan. Dan sudah pasti, suaminya akan merasa dihargai.

Di sisi lain, keterbukaan mutlak diperlukan. Keterbukaan merupakan kata mutiara yang harus dipraktikkan di dunia nyata bagi pasangan suami istri. Untuk mendapatkan keharmonisan, keterbukaan itu penting.

Ingat bahwa ketertutupan dapat mendatangkan masalah, sebaliknya keterbukaan akan membawa berkat bagi pasangan suami istri, atau setidak-tidaknya dapat mengurangi masalah-masalah yang tidak perlu.

Jika anda sudah berkeluarga, belajarlah untuk mengomunikasikan segala sesuatu kepada pasangan anda, jangan biarkan ia menduga-duga dan menjadi kecewa!

-----

Kata-kata bijak:
Suka atau duka tidak untuk dirasakan sendiri, tetapi diperlukan keterbukaan supaya bisa dirasakan berdua.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 8 September 2010 (diedit seperlunya)

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

31 Agustus 2010

Pilar-pilar Kebahagiaan

Ketika memutuskan untuk menikah, orang pasti mengharapkan sebuah rumah tangga yang bahagia. Bahagia dapat didefinisikan sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram, bebas dari segala yang menyusahkan. Kita mengharapkan suami atau istri yang penuh pengertian, anak-anak yang sehat dan taat, keuangan yang baik, dan lain-lain.

Namun, kebahagiaan tidak datang dengan sendirinya. Kebahagiaan perlu dibangun dan diupayakan. Berikut ini adalah 6 pilar kebahagiaan yang perlu kita kembangkan sebagai suami istri di dalam rumah tangga:

1. Saling menerima
Saling menerima merupakan kunci utama untuk mengatasi perbedaan. Pasangan kita memiliki karakter, kebiasaan, pemahaman, dan mungkin saja budaya yang berbeda jika ia berasal dari suku atau bangsa yang lain.

Jangan berusaha untuk mengubah pasangan kita, tetapi mulailah dengan mengubah sikap kita jika memang perlu untuk berubah demi kebaikan bersama. Ketika pasangan melihat perubahan kita, besar kemungkinan ia juga akan mulai berubah atas kesadaran sendiri.

2. Saling menghargai
Saling menghargai berhubungan dengan rasa hormat kita kepada pasangan. Hargailah pasangan sebagai mitra, jangan menganggap dan memperlakukan dia sebagai orang yang lebih rendah. Termasuk juga di dalamnya menghargai pendapat dan ide-idenya, sekalipun pendapatnya tidak sebaik yang anda harapkan.

3. Saling mengutamakan
Kita akan mengutamakan pasangan jika kita menganggap dia lebih penting daripada diri kita sendiri. Mengutamakan diri sendiri akan menimbulkan kesalahpahaman, yang membuat damai sejahtera hilang.

Utamakanlah pasangan anda, perasaannya, keinginannya, hobinya, dsb. Sungguh indah ketika suami istri saling mengutamakan. Ada pelayanan timbal balik di antara keduanya.

4. Saling memuji
Sebuah nasihat mengatakan bahwa kata-kata pujian yang kita berikan hendaklah jarang. Artinya: memberikan pujian merupakan hal yang wajar, tapi jangan memberikan pujian yang berlebihan dan mengada-ada. Pujian yang wajar merupakan motivasi yang baik bagi pasangan.

Jika selama ini kita terbiasa mengkritik pasangan, sekarang gantilah kritikan itu dengan pujian yang akan membuat pasangan kita bersukacita.

5. Saling mengampuni
Dalam hidup berumah tangga, akan ada kesalahpahaman atau pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan. Sebagai orang-orang yang sudah mendapat pengampunan dari Tuhan, suami istri hendaknya juga bersedia memberikan pengampunan ketika sikap atau tindakan pasangan menyakiti hatinya.

6. Saling membangun
Bantulah pasangan anda untuk berubah menjadi lebih baik. Jangan biarkan dia tetap dalam kesalahannya, tegurlah dengan kasih dan doakan dia agar anda berdua semakin baik dan maju.

-----

Kata-kata bijak:
Kebahagiaan tidak datang secara instan, ada usaha dan pengorbanan untuk membangunnya.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 31 Agustus 2010 (diedit seperlunya)

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

13 Agustus 2010

Kuncinya Saling Memahami

Pada suatu senja sepasang suami istri berdebat cukup sengit di kamar mereka. Perdebatan itu berkembang menjadi pertengkaran dan mereka saling melontarkan kata-kata yang tak semestinya diucapkan. Persoalan-persoalan yang pernah terjadi di masa lalu, yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah yang sedang mereka bicarakan saat itu, diungkit kembali.

Biasanya dalam sebuah pertengkaran, masing-masing pihak akan menggunakan alasan apa saja untuk membenarkan diri, membentengi diri sendiri, dan meraih kemenangan yang semu. Dalam pertengkaran di mana emosi sudah tidak terkendali, maka rekaman kepedihan dan sakit hati di masa lalu yang sudah dimaafkan namun tak dilupakan, akan kembali diputar dan dinikmati dalam keperihan. Pertengkaran mampu ‘mencairkan’ kembali semua perkara yang sudah dibekukan.

Ketika suami istri itu berteriak satu terhadap yang lain dan hampir saja lepas kendali, perlahan-lahan pintu kamar mereka dibuka sedikit. Sebuah tangan mungil terulur dari celah yang kecil dan menaruh selembar kertas di engsel pintu. Lalu perlahan-lahan tangan mungil itu menghilang dan pintu ditutup kembali.

Kehadiran si tangan mungil mampu menutup kedua mulut yang ramai bertengkar itu. Sang istri berjalan ke pintu dan mengambil kertas yang bertuliskan, “Aku sayang papa dan mama.” Di kertas itu juga ada gambar berbentuk hati yang diwarnai dengan krayon merah. Ternyata putra mereka menaruh perhatian terhadap keributan yang terjadi di dalam kamar. Bocah berusia 8 tahun itu berhasil melakukan bagiannya, mendamaikan papa dan mamanya dengan cara yang sederhana.

Sesaat kemudian si istri tak kuasa menahan air matanya, ia menerima surat itu sebagai nasihat yang luhur. Dia memutuskan untuk menghentikan pertengkaran yang hanya akan menyakiti dirinya dan suami yang dicintainya. Pertengkaran yang sengit berhenti, dengan rendah hati mereka melakukan pemberesan.

Sore itu tercipta sebuah kesepakatan, mereka membiarkan kertas bergambar hati itu tetap menempel di pintu sebagai sebuah pengingat bagi dua orang yang berkomitmen untuk menciptakan kedamaian dalam rumah tangga mereka.

Kedamaian dalam kehidupan berumah tangga diciptakan oleh semua pihak, terutama oleh suami dan istri. Idealnya, jika suami sedang dalam emosi yang tinggi, maka istri sedapat-dapatnya meredamnya dengan berdiam diri; ketika istri sedang berbicara dengan nada yang tinggi, sebaiknya suami mengambil posisi sebagai pendengar yang baik.

Jika penghasilan suami terbatas sehingga tidak bisa memenuhi semua kebutuhan yang diinginkan sang istri, maka si istri harus rela menerima keadaan itu sambil mengambil sikap yang benar. Berdoa agar Tuhan membuka pintu berkat bagi keluarga, supaya apa yang dibutuhkan dan diinginkan bisa terpenuhi.

Ingatlah bahwa pertengkaran tidak akan memberi titik temu, hanya sikap yang sabar, mengalah, dan pikiran positif yang memampukan kita melihat sisi yang benar.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 13 Agustus 2010 (diedit seperlunya)

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

30 Juni 2010

Antara Karier dan Keluarga

Brenda Barnes besar di lingkungan yang mengajarkan kerja keras, bersedia mendengar orang lain, dan memberi teladan hidup. Nilai-nilai dan teladan hidup itu membantunya menjadi pribadi di atas rata-rata.

Pada tahun 1975 ia menyelesaikan pendidikan di bidang bisnis dan ekonomi di Augustana College, Illinois, USA. Setelah lulus, tak banyak peluang kerja yang didapatkan, namun Brenda mau melakukan apa saja. Ia bekerja sebagai waitress atau pelayan restoran, penyortir surat di kantor pos, dan berjualan pakaian.

Tahun 1976, Brenda diterima di PepsiCo. Inc, sebagai manajer bisnis di Wilson Sporting Goods, anak perusahaan Pepsi. Di masa diskriminasi gender yang masih sangat kental itu, tak mudah baginya untuk menjalankan tugas-tugasnya. Brenda berjuang keras untuk berkompetisi dengan rekan-rekan kerjanya yang pria.

Seiring berjalannya waktu, kariernya terus menanjak. Ia dipercaya menduduki jabatan sebagai kepala penjualan. Brenda kemudian melanjutkan pendidikannya, 1978 ia meraih gelar MBA dari Loyola University. 1996 karier Brenda meroket, ia menduduki jabatan sebagai Presiden dan CEO (Chief Executive Officer) di PepsiCo.

Di bawah kepemimpinan Brenda, tahun itu PepsiCo berhasil meraup keuntungan hingga $1,43 miliar. Brenda mulai dikenal sebagai pemimpin yang berhasil membangun identitas merek dagang. Dua puluh dua tahun lamanya ia mengabdi di perusahaan itu.

Pada satu titik Brenda mengambil keputusan yang mengejutkan, ia mengundurkan diri. Pada akhir 1997, ia resmi meninggalkan perusahaan yang berhasil dimajukannya. Alasannya sangat sederhana, ia ingin memiliki lebih banyak waktu bersama keluarga.

Pada saat menjadi CEO ia bekerja selama 70 jam seminggu, ia bekerja hingga pukul 3.30 pagi, belum lagi jika ia harus melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Brenda mengakui sehebat apa pun dia, tetap saja tidak akan mampu menikmati dua hal sekaligus secara maksimal, yaitu pekerjaan dan keluarganya.

Dengan beragam cara PepsiCo mencoba menahannya, seperti memberi waktu kerja yang lebih fleksibel, mengabaikan absensi, tanggung jawab yang lebih sedikit, dan sebagainya. Namun ia berketetapan untuk fokus pada keluarganya.

Keputusannya untuk menolak tawaran tersebut membuat banyak perusahaan di Amerika tersadar dan mengubah budaya perusahaan. Perusahaan-perusahaan tidak lagi sekadar mementingkan urusan pekerjaan, tetapi lebih terbuka untuk mengakomodasi kepentingan pribadi dan keluarga.

Keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan harus terus dijaga dengan cara selalu mengevaluasi prioritas secara berkala. Jangan sampai suami/istri dan anak-anak merasa terabaikan karena kita terlalu terobsesi mengejar karier.

Apa gunanya kita memperoleh materi yang melimpah dan kedudukan yang tinggi jika pada akhirnya kita dijauhi istri/suami, anak, keluarga, bahkan bisa terhilang dari jalan Tuhan.

-----

Kata-kata bijak:
Kebahagiaan menjadi sempurna manakala tercipta keseimbangan antara Tuhan, keluarga, dan karier.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 30 Juni 2010 (diedit seperlunya)

Judul asli: Antara CEO dan Keluarga

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

13 Mei 2010

Saling Menerima

Rebecca duduk di ruang istirahat seusai membawakan seminar bertema keluarga.

“Apa yang kau bawakan tadi sangat memberkati para peserta,” kata Jane, seorang ibu yang saat itu menemaninya.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, mata Rebecca mulai memerah dan genangan air mata memenuhi pelupuk matanya.

“Mereka pasti berpikir bahwa aku ini istri yang baik dan bahagia,” jawab Rebecca.

“Apakah kamu punya masalah serius?” tanya Jane.

“Aku sudah menikah selama 14 tahun dan suamiku adalah pria yang sangat baik. Ia jujur, sabar, penyayang dan memiliki pekerjaan yang mapan. Ia penuh perhatian dan selalu menanyakan keadaanku. Ketika aku harus pergi ke suatu tempat untuk membawakan seminar ataupun acara-acara lainnya, ia selalu menawarkan diri untuk menemani jika ia sedang tidak ada acara. Ia dengan senang hati menyiapkan alat peraga yang kubutuhkan untuk membawakan seminar, termasuk membawa alat peraga dan perlengkapan lainnya ke tempat di mana aku membawakan seminar. Ia baik dan menyayangiku.”

“Sepertinya tidak ada yang kurang?” kata Jane.

“Jane, sudah kukatakan bahwa suamiku sangat baik. Tapi aku menginginkan sosok suami yang bisa memimpin dan bukan melayaniku. Aku mengharapkan agar dia yang lebih terkenal dan menjadi pembicara daripada aku,” jawab Rebecca.

Jane memeluk Rebecca dan memberikan nasihat yang cukup singkat, “Ingatkah engkau janji pernikahan yang kau ucapkan 14 tahun yang lalu? Bukankah engkau sudah berjanji akan menerima dia apa adanya?”

Rebecca terdiam sejenak. Ia mulai menangis, dan sejak saat itu ia tidak lagi mengharapkan agar suaminya menjadi sosok yang ia inginkan. Ia mulai mensyukuri kelebihan-kelebihan yang ada dalam diri suaminya dan menerima segala kekurangannya.

Terkadang kita tidak merasa puas hanya dengan kebaikan, perhatian dan sikap melayani yang pasangan kita lakukan terhadap kita. Idealisme yang terlalu tinggi tidak jarang membuat kita menetapkan standar tertentu untuk pasangan kita. Misalnya: dia harus menjadi orang yang tegas, pintar, berwawasan luas, dan lain-lain. Padahal pasangan kita tidak bisa menjadi apa yang kita inginkan.

Kekecewaan karena pasangan kita tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan akan semakin terasa ketika kita mulai membanding-bandingkannya dengan orang lain.

Suami atau istri anda pasti memiliki kekurangan, tetapi ingatlah bahwa dia juga memiliki kelebihan. Bantulah pasangan anda untuk mengubah kekurangan di dalam dirinya menjadi kebaikan, tetapi terimalah apa yang tidak dapat anda ubah.

Kasih dan penerimaan yang tulus terhadap pasangan membuat anda menerima ketidaksempurnaannya dan tidak mempermasalahkan apalagi meributkannya. Bukankah anda sudah berjanji untuk menerima dia?

-----

Kata-kata bijak:
Bukalah kedua mata anda ketika memilih pasangan, tetapi tutuplah satu mata anda ketika sudah menikah.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 13 Mei 2010 (diedit seperlunya)

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

08 Mei 2010

Membahagiakan Pasangan dengan Memenuhi Kebutuhannya

Simaklah kisah berikut ini:

Ibuku adalah seorang wanita yang sangat baik. Sejak kecil aku melihatnya gigih menjaga keutuhan keluarga kami. Beliau bangun dini hari, memasak bubur untuk ayah karena lambung ayah tidak baik. Setelah itu ia memasak sepanci nasi untuk anak-anaknya.

Setiap sore ibu menyikat panci, sehingga panci di rumah kami bisa dijadikan cermin. Ibuku adalah wanita yang sangat rajin, namun di mata ayah dia bukan pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhanku, tidak hanya sekali ayah menyatakan kesepiannya dalam pernikahan. Ayah tidak memahami ibu.

Ayahku adalah seorang pria yang bertanggung jawab. Tidak merokok, tidak minum minuman keras, serius dalam pekerjaan, berangkat kerja tepat waktu, mengatur jadwal sekolah dan waktu liburan anak-anaknya. Beliau adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anaknya untuk berprestasi dalam pelajaran.

Di mata kami ayah besar seperti langit, menjaga, melindungi dan mendidik kami. Namun di mata ibu, ayah juga bukan seorang pendamping yang baik. Aku kerap melihat ibu menangis terisak-isak di sudut rumah. Ayah menyatakan ketidakbahagiaannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi kepedihan.

Dalam proses pertumbuhan, aku melihat dan mendengar ketidakberdayaan dalam pernikahan orangtuaku, tapi sekaligus merasakan betapa baiknya mereka. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Dua orang yang baik, kenapa tidak memiliki pernikahan yang bahagia?”

Setelah dewasa aku menikah dengan pria yang baik. Di awal pernikahan, aku sama seperti ibu: menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan rumah.

Suatu hari ketika aku sedang membersihkan lantai, suamiku berkata, “Sayang, temani aku sebentar mendengarkan musik.” Dengan mimik tidak senang aku menjawab, “Apa kau tidak melihat bahwa rumah masih belum beres? Anak-anak juga belum menyiapkan perlengkapan mereka!”

Saat kata-kata itu terlontar aku terdiam. Kata-kata itu tidak asing di telingaku, ibuku kerap berkata demikian kepada ayah. Kesadaran muncul dalam batinku bahwa pernikahanku tengah melangkah ke sebuah kisah di mana dua orang yang baik tidak diiringi dengan pernikahan yang bahagia.

Kesadaran itu membuatku bertanya pada suamiku, “Sayang, apa yang kau butuhkan?” “Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengarkan musik. Rumah kotor sedikit tidak apa-apa, nanti akan kucarikan pembantu untukmu! Dengan begitu kau bisa menemaniku,” ujar suamiku.

Sejak hari itu kami menikmati kebahagiaan. Aku belajar membuat daftar kebutuhan suami dan meletakkannya di atas meja, suamiku juga membuat daftar kebutuhanku.

Puluhan kebutuhan yang panjang dan jelas, misalnya: waktu senggang menemani suami mendengarkan musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan dan ciuman selamat jalan bila berangkat kerja, dan seterusnya.

Saat kebutuhan kami terpenuhi, pernikahan yang kami jalani kian hari kian penuh daya hidup.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 8 Mei 2010 (diedit seperlunya)

Judul asli: Apa yang Kau Butuhkan?

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

28 Maret 2010

Berfungsi sebagai Rem

Pak Tio adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan penerbitan. Jarak rumah dengan kantornya sekitar 40 km yang ditempuhnya dengan menggunakan motor. Dia mempunyai istri yang setia dan anak yang cukup berprestasi.

Setiap pagi istrinya berkata, “Hati-hati di jalan, jangan ngebut.” Tetapi tidak jarang pada malam hari suaminya berkata, “Aku tadi emosi, ada pengendara motor yang seenaknya dan aku kejar dia.” “Jangan begitu, biarkan saja, nanti kalau celaka kan repot,” jawab istrinya.

Sabtu dan Minggu adalah hari yang paling pas untuk istri Pak Tio menjalankan fungsinya sebagai 'rem', karena Pak Tio selalu mengantarnya ke pasar atau ke tempat-tempat lain. Beberapa kali terdengar perkataan, “Awas pelan sedikit,” “Jangan terlalu ke kanan,” “Di belakangnya saja, tidak usah mendahului,” “Awas jalanan sempit,” dan masih banyak yang lainnya.

Kadang-kadang Pak Tio kesal dan menjawab, “Ah, adik ini, cerewet banget sih.” Menarik memerhatikan jawaban istrinya, “Kalau aku tidak cerewet, nanti Mas ngebut.”

Ternyata fungsi ini dijalankan istri Pak Tio bukan hanya dalam masalah naik motor, tetapi juga dalam hal-hal lain. Suatu kali Pak Tio mendapat informasi dari temannya tentang seseorang yang memfitnahnya. Dia pun bergegas beranjak dari tempat duduknya dan bermaksud hendak melabrak orang tersebut. Tetapi tangan istrinya menghalanginya dan terucaplah kata-kata, “Sabarlah Mas, jangan keburu nafsu. Siapa tahu maksudnya tidak demikian.” Pak Tio pun mengurungkan niatnya.

Pada kesempatan lain, dia dibuat kesal oleh anaknya yang tidak pamit ketika pergi ke rumah temannya setelah pulang sekolah. Muka seram dan kata-kata keras pun sudah disiapkan menjelang anaknya masuk rumah. Tetapi istrinya berkata, “Nanti jangan dimarahi ya, biarkan dia makan dulu, nanti kita bilangi saja.” Kali ini pun Pak Tio membatalkan rencananya.

Dalam mengambil keputusan pun, istri Pak Tio selalu mengawasinya, siapa tahu keputusan itu dibuat dengan terburu-buru dan berdampak negatif bagi kehidupan bersama.

Bahkan dalam masalah makan pun sering kali dia berkata, “Aku sengaja tidak membelikan roti. Nanti dobel, sudah makan malam tambah roti lagi,” atau “Jangan makan gorengan terus, tidak baik.” Demikian yang dilakukan istri Pak Tio, dia benar-benar bisa mengerem suaminya supaya tidak kebablasan.

Bukan hanya dalam rumah tangga dibutuhkan seseorang untuk mengerem pasangan hidupnya supaya tidak bertindak kebablasan, di tempat ibadah pun dibutuhkan. Adakalanya seseorang melayani dengan emosional, tanpa hikmat. Hal ini bukan saja tidak menjadi berkat, malah bisa menjadi batu sandungan.

Di tempat kerja pun, kita butuh rekan kerja yang bisa mengerem, jika kita berada pada jalur yang salah. Demikian juga di tempat-tempat lain, di lingkungan pemerintahan, di sebuah klub olahraga, dan sebagainya. Sudahkah anda berfungsi sebagai 'rem' bagi mereka yang cenderung kebablasan?

-----

Kata-kata bijak:
Ketika kita tidak bisa mengerem diri sendiri, dibutuhkan orang lain untuk mengerem kita. Jangan menolak mereka.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 28 Maret 2010 (diedit seperlunya)

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

=======


Artikel Terbaru Blog Ini