Pada suatu senja sepasang suami istri berdebat cukup sengit di kamar mereka. Perdebatan itu berkembang menjadi pertengkaran dan mereka saling melontarkan kata-kata yang tak semestinya diucapkan. Persoalan-persoalan yang pernah terjadi di masa lalu, yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah yang sedang mereka bicarakan saat itu, diungkit kembali.
Biasanya dalam sebuah pertengkaran, masing-masing pihak akan menggunakan alasan apa saja untuk membenarkan diri, membentengi diri sendiri, dan meraih kemenangan yang semu. Dalam pertengkaran di mana emosi sudah tidak terkendali, maka rekaman kepedihan dan sakit hati di masa lalu yang sudah dimaafkan namun tak dilupakan, akan kembali diputar dan dinikmati dalam keperihan. Pertengkaran mampu ‘mencairkan’ kembali semua perkara yang sudah dibekukan.
Ketika suami istri itu berteriak satu terhadap yang lain dan hampir saja lepas kendali, perlahan-lahan pintu kamar mereka dibuka sedikit. Sebuah tangan mungil terulur dari celah yang kecil dan menaruh selembar kertas di engsel pintu. Lalu perlahan-lahan tangan mungil itu menghilang dan pintu ditutup kembali.
Kehadiran si tangan mungil mampu menutup kedua mulut yang ramai bertengkar itu. Sang istri berjalan ke pintu dan mengambil kertas yang bertuliskan, “Aku sayang papa dan mama.” Di kertas itu juga ada gambar berbentuk hati yang diwarnai dengan krayon merah. Ternyata putra mereka menaruh perhatian terhadap keributan yang terjadi di dalam kamar. Bocah berusia 8 tahun itu berhasil melakukan bagiannya, mendamaikan papa dan mamanya dengan cara yang sederhana.
Sesaat kemudian si istri tak kuasa menahan air matanya, ia menerima surat itu sebagai nasihat yang luhur. Dia memutuskan untuk menghentikan pertengkaran yang hanya akan menyakiti dirinya dan suami yang dicintainya. Pertengkaran yang sengit berhenti, dengan rendah hati mereka melakukan pemberesan.
Sore itu tercipta sebuah kesepakatan, mereka membiarkan kertas bergambar hati itu tetap menempel di pintu sebagai sebuah pengingat bagi dua orang yang berkomitmen untuk menciptakan kedamaian dalam rumah tangga mereka.
Kedamaian dalam kehidupan berumah tangga diciptakan oleh semua pihak, terutama oleh suami dan istri. Idealnya, jika suami sedang dalam emosi yang tinggi, maka istri sedapat-dapatnya meredamnya dengan berdiam diri; ketika istri sedang berbicara dengan nada yang tinggi, sebaiknya suami mengambil posisi sebagai pendengar yang baik.
Jika penghasilan suami terbatas sehingga tidak bisa memenuhi semua kebutuhan yang diinginkan sang istri, maka si istri harus rela menerima keadaan itu sambil mengambil sikap yang benar. Berdoa agar Tuhan membuka pintu berkat bagi keluarga, supaya apa yang dibutuhkan dan diinginkan bisa terpenuhi.
Ingatlah bahwa pertengkaran tidak akan memberi titik temu, hanya sikap yang sabar, mengalah, dan pikiran positif yang memampukan kita melihat sisi yang benar.
* * *
Sumber: Manna Sorgawi, 13 Agustus 2010 (diedit seperlunya)
Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.
==========