11 Desember 2012

Kabar yang Menghibur

Beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi anak seorang sahabat yang dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan tak terduga yang dialaminya.

Kecelakaan itu terjadi pada waktu ia belajar naik sepeda motor. Yang mendampingi dan melatihnya adalah ayahnya sendiri, sahabat saya itu.


Setelah sekian lama berlatih keseimbangan dengan naik sepeda kayuh, ayahnya kemudian menyerahkan sepeda motor kepada anak ini dan ia langsung tancap gas.

Rupanya, karena bingung bercampur gugup, anak ini tidak mampu mengendalikan sepeda motornya dan kemudian menabrak sebuah pembatas beton di pinggir jalan.

Ia langsung terjungkal dari sepeda motor, pingsan dengan kondisi yang cukup parah. Rahang wajah bergeser, demikian pula sejumlah tulang tangan. Di sana-sini luka dan berdarah.

Siapa yang paling merasa bersalah? Sahabat saya itu. Saya dapat menangkap kesan menyesal dan rasa bersalah yang mendalam di raut wajahnya pada waktu bertemu dengannya di ruang rawat inap anaknya.

Sebagai ayah yang seharusnya melindungi dan menjaga anaknya, tentu sebuah kesalahan yang terasa berat sekali untuk ditanggung bila karena kelalaiannya anaknya malah mendapat celaka. Rasa-rasanya, apa pun rela dibayar demi menghapus derita anak.

Sepulang dari rumah sakit saya berbincang dengan istri saya. Kami sepakat bahwa sebagai orangtua tentu berat rasanya menghadapi kenyataan penderitaan anak yang seperti itu.

Adakah penghiburan bagi para orangtua yang dirundung sedih dan duka akibat perbuatannya kepada anak-anaknya? Adakah penghiburan bagi mereka yang karena perbuatan baiknya telah menyebabkan orang-orang yang mereka kasihi malah celaka, sakit, dan bahkan meninggal dunia?

Ada kabar yang menghibur dari Tuhan untuk siapa saja yang selama ini sedang dibelenggu oleh “perhambaan” rasa bersalah, penyesalan berkepanjangan, malu, dan terhina. Tuhan menghibur kita dengan kabar indah yang menenangkan hati.

Ia berkata bahwa masa pergulatan dengan perasaan-perasaan itu sudah berakhir. Kita tidak perlu lagi merasa sedih, bersalah, malu, menyesal, dan bahkan takut.

Segala kesalahan, kelalaian, dan kecerobohan yang telah menimbulkan perasaan-perasaan yang merenggut energi hidup itu kini “telah diampuni”. Tuhan dengan senang hati mau mengampuni dan sudah mengampuninya. —Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 11/12/2012 (diedit seperlunya)

==========

28 November 2012

Sudoku

Sudoku, puzzle menempatkan angka, sangat digemari jutaan orang di dunia, termasuk di Indonesia, terutama masyarakat Jepang.

Cara mengisi Sudoku adalah dengan menempatkan angka 1 sampai 9, tidak urut, ke dalam setiap baris, setiap kolom, dan setiap kotak yang masing-masing berisi sembilan kotak kecil.
Tingkat kesulitan Sudoku sangat bervariasi, dari yang sangat mudah sampai yang super sulit. Kita bisa mengisi Sudoku yang gampang terlebih dahulu, lalu beralih ke tingkat yang sedikit sulit, lebih sulit, dan semakin sulit.

Ada Sudoku yang membingungkan, membuat penasaran, dan tidak jarang orang gagal mengisinya dengan angka-angka yang tepat atau cocok.

Kehidupan keluarga kita mirip Sudoku. Ada masalah yang secara alami mudah diselesaikan, yaitu ketika setiap anggota keluarga bisa menempatkan diri dengan benar. Tetapi tidak sedikit masalah yang menimbulkan beda pendapat dan sikap, ketegangan serta konflik.

Namun, apa pun masalah yang menyeruak di dalam keluarga, seharusnya melatih kita untuk menghargai setiap perbedaan dengan tetap memprioritaskan keutuhan keluarga.

Adakalanya kita lebih mengasihi orang lain ketimbang keluarga sendiri. Kita bisa lebih bersikap baik terhadap orang asing daripada keluarga sendiri. Kita bisa lebih berlaku manis terhadap anak-anak tetangga atau rekan kita ketimbang anak sendiri.

Kita bisa lebih sabar mendengar keluh kesah teman-teman kita daripada keluhan pasangan sendiri. Kita bisa lebih memberi perhatian ketika melayani para lansia di panti wreda daripada ayah ibu atau kakek nenek kita.

Mengapa kita lebih pemaaf menerima kesalahan orang lain, tetapi tidak bagi keluarga sendiri? Mengapa kita bisa lebih menjaga diri untuk tidak terlibat konflik dengan orang lain daripada dengan istri atau suami sendiri?

Mengapa kita bisa lebih mengalah dan membiarkan orang lain “menginjak hati” kita, tetapi tidak bagi siapa pun dalam keluarga kita?

Mengapa ada kata maaf yang begitu cepat meluncur ketika kita berbuat salah kepada orang lain, tetapi maaf itu justru tertahan di dalam mulut saat kita ingin mengakhiri pertengkaran dalam keluarga?

Ada banyak sikap dan perilaku kita di dalam keluarga yang bisa kita renungkan hari ini.

Sebuah nasihat mengingatkan kita agar senantiasa memiliki belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran.

Hendaklah istri tunduk kepada suami, suami mengasihi istri dan tidak berlaku kasar, anak-anak taat kepada orangtua, dan orangtua tidak menyakiti hati anak-anak supaya mereka tidak tawar hati.

Tidakkah semua ini tampak indah di mata Tuhan? Jika kita mengasihi Tuhan, seharusnya kita mengasihi saudara dan keluarga kita.

Seperti Sudoku yang memiliki norma permainan, sepelik apa pun masalah keluarga kita, selama kita menyelesaikan menurut norma yang benar, yaitu kasih Tuhan, kita pasti bisa menyelesaikannya dengan baik. —Agus Santosa

Alangkah baik dan indahnya, apabila kita sekeluarga hidup dengan rukun.

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 27/11/2012 (diedit seperlunya)

==========

06 November 2012

Rubah Perusak Cinta

Entah apa yang istimewa dengan rubah sehingga Salomo (Nabi Sulaiman) menyebutkan hewan ini dalam syairnya. Mungkin ia memang benar-benar melihat sekawanan rubah ketika sedang menelusuri kebun anggur bersama kekasihnya!

Rubah adalah hewan omnivora, tetapi makanan favoritnya adalah buah-buahan.
Beberapa penafsir menganggap rubah-rubah ini melukiskan hal-hal kecil yang bisa merusak hubungan dalam pernikahan. Karena kecilnya, sering kali luput dari perhatian.

Posturnya mirip anjing peliharaan, tampaknya tidak berbahaya. Namun, orang yang tahu sifat rubah yang merusak tidak akan membiarkannya. Rubah tak sekadar dihalau karena ia bisa kembali lagi, tetapi ditangkap untuk dihabisi.

Hal-hal perusak pernikahan juga harus dengan serius ditangani hingga tuntas. Rubah-rubah itu tidak membatalkan pernikahan, tetapi bisa merusaknya.

Seperti hubungan pernikahan, hubungan kita dengan Tuhan juga sering dirusak oleh hal-hal yang tampaknya sepele. Dosa-dosa yang tidak diakui, kesibukan yang mengambil alih persekutuan pribadi dengan Tuhan, kemalasan untuk belajar firman Tuhan, kecintaan pada keluarga atau harta benda yang melebihi kecintaan pada Tuhan. Anda dapat meneruskan daftarnya.

Kelihatan tidak berbahaya, kita masih beribadah dan aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani. Status kita sebagai umat Tuhan tidak berubah. Namun, kita tak lagi menikmati hubungan yang intim dan indah dengan Tuhan.

Kebun anggur kita tak lagi semerbak, habis dilalap rubah. Rubah-rubah kecil apa yang harus kita tangkap dan bereskan di hadapan-Nya hari ini? —HAN

JIKA KITA MENGASIHI TUHAN, KITA AKAN MEMBERESKAN SEMUA HAL YANG MERUSAK HUBUNGAN DENGAN-NYA.

* * *

Sumber: e-RH, 6/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Rubah Cinta Kita

==========

15 Oktober 2012

Cincin Kawin yang Jatuh

Sebuah acara pernikahan di Gereja St John’s Church, Surrey, Inggris tiba-tiba menjadi heboh. Pasangan mempelai, Lewis Aubrey dan Elizabeth Gray, kehilangan cincin kawin yang dibawa oleh kakak mempelai pria karena cincin itu terjatuh di lantai gereja.

Baru dua jam kemudian cincin itu diketemukan kembali. Untunglah ada yang bersedia meminjamkan cincin demi acara sakral itu bisa berlangsung.
Sebuah ilustrasi yang mengingatkan bagaimana kondisi pernikahan di zaman ini. Beberapa di antara pasangan pernikahan telah mengalami “cincin kawin yang jatuh” (maksudnya perceraian).

Cincin kawin jatuh karena tersandung kata “tidak cocok”. Apakah Tuhan pernah menciptakan orang yang cocok? Tuhan menciptakan orang yang berbeda, laki-laki dan perempuan, dengan karakter yang berbeda.

Pernikahan bukan untuk mencocokkan, tetapi membuat orang yang berbeda saling menghargai, saling menerima, dan saling menyesuaikan. Jangan mudah berkata “tidak cocok” sehingga terjadi tragedi “cincin kawin yang jatuh”.

Cincin kawin jatuh karena masuknya “orang ketiga”. Ya, hanya dua, bukan tiga, empat, lima orang dan seterusnya. Sadarilah kelemahan kita sebagai manusia, di mana laki-laki adalah orang yang mudah jatuh cinta dan perempuan adalah orang yang maunya “berkuasa” sehingga kebahagiaan bisa terkoyak. Terkoyaknya kesatuan itu akan memudahkan masuknya “orang ketiga”.

Persatuan dua insan itu bukan seperti lilitan tali yang dianyam, melainkan seperti dua lembar kertas yang saling direkatkan. Dimulai dari lem masih basah sampai mengeras. Sehingga kalau sampai sobek, maka akibatnya fatal atau terkoyak. Peganglah erat-erat pernikahan Anda dengan hati, kemesraan, air mata, doa, dan firman Tuhan.

Peristiwa pernikahan dengan “cincin kawin yang jatuh” di atas berakhir bahagia, karena setelah dua jam cincin itu ditemukan kembali. Mintalah Tuhan membuat Anda berdua saling berpegangan erat demi cincin pernikahan yang telah terpasang. —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 15/10/2012 (diedit seperlunya)

==========

02 September 2012

Antelop dan Burung Hantu

Apakah kita termasuk manusia yang memiliki kepekaan rasa? Artinya, apakah kita termasuk manusia yang hanya bisa belajar dari buku-buku, ataupun literatur yang bisa dibaca dan dinikmati dengan indra penglihatan dan pendengaran (misalnya televisi dan radio). Ataukah kita termasuk jenis manusia yang peduli terhadap sekeliling kita, dan bisa belajar dari sana?

Saya sering dibuat terkagum-kagum, ketika sedang menikmati alam lingkungan sekitar rumah tinggal saya. Ketika saya menerawang ke atas, ada langit yang begitu cerah, kadang-kadang mendung, ada semburat jingga, biru, dan aneka warna langit yang begitu indah memanjakan pandangan mata saya.

Demikian juga ketika saya sedang berkebun, ada banyak pepohonan buah di sana, dan di antara pepohonan itu, ada berbagai macam binatang.

Dari semua makhluk ciptaan Tuhan, ada antelop (binatang seperti rusa) dan burung hantu. Keduanya adalah binatang yang indah dan memiliki cara hidup masing-masing.

Antelop adalah binatang yang jika telah kawin, pejantan tidak mau membantu betina menjaga dan membesarkan anak-anaknya, tetapi dia akan sibuk mencari makan untuk dirinya sendiri.

Sementara burung hantu, meskipun secara fisik dia lebih kecil daripada antelop, tetapi ia dikenal sebagai pasangan yang setia, karena mereka akan membesarkan dan menjaga anak-anaknya yang baru dilahirkan secara bersama-sama.
Wowww! Saya takjub sekali dengan kehidupan si burung hantu ini. Tidak tahu di mana mereka mencari makan, tetapi mereka secara bersama-sama memberi makan anak-anaknya.

Ketika hujan, panas, badai, dan dalam keadaan apa pun mereka menjaga anak-anak mereka secara bersama-sama.

Mereka membesarkan anak-anaknya dengan penuh rasa tanggung jawab, hingga tiba saatnya anak-anak dapat mengembangkan sayap dan terbang mandiri mengelana di angkasa.

Marilah belajar kesetiaan dari burung hantu. Setialah pada komitmen kita, pasangan kita. Setialah kepada Tuhan yang selalu setia kepada kita. —Elisa Christanto

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 2/9/12 (diedit sedikit)

==========


Artikel Terbaru Blog Ini