Brenda Barnes besar di lingkungan yang mengajarkan kerja keras, bersedia mendengar orang lain, dan memberi teladan hidup. Nilai-nilai dan teladan hidup itu membantunya menjadi pribadi di atas rata-rata.
Pada tahun 1975 ia menyelesaikan pendidikan di bidang bisnis dan ekonomi di Augustana College, Illinois, USA. Setelah lulus, tak banyak peluang kerja yang didapatkan, namun Brenda mau melakukan apa saja. Ia bekerja sebagai waitress atau pelayan restoran, penyortir surat di kantor pos, dan berjualan pakaian.
Tahun 1976, Brenda diterima di PepsiCo. Inc, sebagai manajer bisnis di Wilson Sporting Goods, anak perusahaan Pepsi. Di masa diskriminasi gender yang masih sangat kental itu, tak mudah baginya untuk menjalankan tugas-tugasnya. Brenda berjuang keras untuk berkompetisi dengan rekan-rekan kerjanya yang pria.
Seiring berjalannya waktu, kariernya terus menanjak. Ia dipercaya menduduki jabatan sebagai kepala penjualan. Brenda kemudian melanjutkan pendidikannya, 1978 ia meraih gelar MBA dari Loyola University. 1996 karier Brenda meroket, ia menduduki jabatan sebagai Presiden dan CEO (Chief Executive Officer) di PepsiCo.
Di bawah kepemimpinan Brenda, tahun itu PepsiCo berhasil meraup keuntungan hingga $1,43 miliar. Brenda mulai dikenal sebagai pemimpin yang berhasil membangun identitas merek dagang. Dua puluh dua tahun lamanya ia mengabdi di perusahaan itu.
Pada satu titik Brenda mengambil keputusan yang mengejutkan, ia mengundurkan diri. Pada akhir 1997, ia resmi meninggalkan perusahaan yang berhasil dimajukannya. Alasannya sangat sederhana, ia ingin memiliki lebih banyak waktu bersama keluarga.
Pada saat menjadi CEO ia bekerja selama 70 jam seminggu, ia bekerja hingga pukul 3.30 pagi, belum lagi jika ia harus melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Brenda mengakui sehebat apa pun dia, tetap saja tidak akan mampu menikmati dua hal sekaligus secara maksimal, yaitu pekerjaan dan keluarganya.
Dengan beragam cara PepsiCo mencoba menahannya, seperti memberi waktu kerja yang lebih fleksibel, mengabaikan absensi, tanggung jawab yang lebih sedikit, dan sebagainya. Namun ia berketetapan untuk fokus pada keluarganya.
Keputusannya untuk menolak tawaran tersebut membuat banyak perusahaan di Amerika tersadar dan mengubah budaya perusahaan. Perusahaan-perusahaan tidak lagi sekadar mementingkan urusan pekerjaan, tetapi lebih terbuka untuk mengakomodasi kepentingan pribadi dan keluarga.
Keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan harus terus dijaga dengan cara selalu mengevaluasi prioritas secara berkala. Jangan sampai suami/istri dan anak-anak merasa terabaikan karena kita terlalu terobsesi mengejar karier.
Apa gunanya kita memperoleh materi yang melimpah dan kedudukan yang tinggi jika pada akhirnya kita dijauhi istri/suami, anak, keluarga, bahkan bisa terhilang dari jalan Tuhan.
-----
Kata-kata bijak:
Kebahagiaan menjadi sempurna manakala tercipta keseimbangan antara Tuhan, keluarga, dan karier.
* * *
Sumber: Manna Sorgawi, 30 Juni 2010 (diedit seperlunya)
Judul asli: Antara CEO dan Keluarga
Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.
==========