Simaklah kisah berikut ini:
Ibuku adalah seorang wanita yang sangat baik. Sejak kecil aku melihatnya gigih menjaga keutuhan keluarga kami. Beliau bangun dini hari, memasak bubur untuk ayah karena lambung ayah tidak baik. Setelah itu ia memasak sepanci nasi untuk anak-anaknya.
Setiap sore ibu menyikat panci, sehingga panci di rumah kami bisa dijadikan cermin. Ibuku adalah wanita yang sangat rajin, namun di mata ayah dia bukan pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhanku, tidak hanya sekali ayah menyatakan kesepiannya dalam pernikahan. Ayah tidak memahami ibu.
Ayahku adalah seorang pria yang bertanggung jawab. Tidak merokok, tidak minum minuman keras, serius dalam pekerjaan, berangkat kerja tepat waktu, mengatur jadwal sekolah dan waktu liburan anak-anaknya. Beliau adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anaknya untuk berprestasi dalam pelajaran.
Di mata kami ayah besar seperti langit, menjaga, melindungi dan mendidik kami. Namun di mata ibu, ayah juga bukan seorang pendamping yang baik. Aku kerap melihat ibu menangis terisak-isak di sudut rumah. Ayah menyatakan ketidakbahagiaannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi kepedihan.
Dalam proses pertumbuhan, aku melihat dan mendengar ketidakberdayaan dalam pernikahan orangtuaku, tapi sekaligus merasakan betapa baiknya mereka. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Dua orang yang baik, kenapa tidak memiliki pernikahan yang bahagia?”
Setelah dewasa aku menikah dengan pria yang baik. Di awal pernikahan, aku sama seperti ibu: menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan rumah.
Suatu hari ketika aku sedang membersihkan lantai, suamiku berkata, “Sayang, temani aku sebentar mendengarkan musik.” Dengan mimik tidak senang aku menjawab, “Apa kau tidak melihat bahwa rumah masih belum beres? Anak-anak juga belum menyiapkan perlengkapan mereka!”
Saat kata-kata itu terlontar aku terdiam. Kata-kata itu tidak asing di telingaku, ibuku kerap berkata demikian kepada ayah. Kesadaran muncul dalam batinku bahwa pernikahanku tengah melangkah ke sebuah kisah di mana dua orang yang baik tidak diiringi dengan pernikahan yang bahagia.
Kesadaran itu membuatku bertanya pada suamiku, “Sayang, apa yang kau butuhkan?” “Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengarkan musik. Rumah kotor sedikit tidak apa-apa, nanti akan kucarikan pembantu untukmu! Dengan begitu kau bisa menemaniku,” ujar suamiku.
Sejak hari itu kami menikmati kebahagiaan. Aku belajar membuat daftar kebutuhan suami dan meletakkannya di atas meja, suamiku juga membuat daftar kebutuhanku.
Puluhan kebutuhan yang panjang dan jelas, misalnya: waktu senggang menemani suami mendengarkan musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan dan ciuman selamat jalan bila berangkat kerja, dan seterusnya.
Saat kebutuhan kami terpenuhi, pernikahan yang kami jalani kian hari kian penuh daya hidup.
* * *
Sumber: Manna Sorgawi, 8 Mei 2010 (diedit seperlunya)
Judul asli: Apa yang Kau Butuhkan?
Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.
==========