29 Maret 2007

Tiga Jenis Kasih

Apakah yang membuat seorang suami tidak menuntut istrinya untuk menyervis dia? Malah sebaliknya, dalam hubungan intim sang suamilah yang berfokus untuk memuaskan kebutuhan biologis istrinya terlebih dahulu.

Ternyata kuncinya terletak pada jenis kasih yang ia miliki. Dalam budaya Yunani, dikenal tiga jenis kasih. Yang pertama adalah kasih eros. Jenis kasih ini biasanya menguasai orang yang sedang dimabuk cinta. Dari kata eros muncul kata erotika.

Kasih eros adalah kasih terhadap diri sendiri. Seorang suami yang dikuasai oleh kasih eros, ketika ia berkata bahwa ia mencintai istrinya, sebenarnya sedang mengatakan, “Aku mengasihimu istriku, supaya kau melayani kebutuhan-kebutuhan seksualku.”

Dalam hubungan bisnis, seseorang yang dikuasai oleh kasih eros, ketika ia tampak begitu peduli terhadap temannya, sebenarnya sedang berkata, “Aku mengasihimu supaya aku dapat memanfaatkanmu demi kemajuan bisnisku.”

Kasih eros bersifat merusak. Ia merusak hubungan suami istri, bisnis, pekerjaan, bahkan hubungan dengan Tuhan. Kasih eros hanya menuntut, mengambil, dan menyedot.

Jenis kasih yang kedua adalah kasih phileo atau kasih yang bersifat timbal balik. Artinya, kasih yang diungkapkan merupakan balasan atas kasih yang diterima. Orang yang memiliki kasih phileo akan berkata, “Kalau kamu semakin mengasihi aku, maka aku pun akan semakin mengasihimu.”

Kasih phileo adalah jenis kasih yang terbatas dan dapat berubah-ubah. Ia mengikuti perasaan. Jika hati sedang terluka atau sakit, maka kasih phileo akan berkurang, bahkan bisa padam sama sekali.

Jenis kasih yang ketiga adalah kasih Tuhan atau biasa dikenal dengan sebutan kasih agape. Tuhan hanya memiliki satu jenis kasih ini. Ia tidak mengenal kedua jenis kasih lainnya. Namun, kasih ini dapat dimiliki dan dipraktikkan oleh manusia. Kasih agape tidak tidak tergantung keadaan atau perasaan. Kasih agape adalah kasih yang memberi tanpa syarat.

Kasih agape inilah yang seharusnya dimiliki oleh pasangan suami istri, sehingga mereka masing-masing dapat saling memuaskan pasangannya.

Tentang hubungan intim suami istri, seorang pembicara bernama Freddy Liong, yang selalu membawakan topik Keluarga Ilahi dalam pembinaan di gereja kami, memberikan resep bahwa suamilah yang seharusnya melayani istrinya terlebih dahulu. Bukan sebaliknya! Alasannya, karena wanita membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai puncak syahwatnya dibanding pria.

Referensi: Touching Heaven Changing Community (THCC) – Seri Berbuah, Ir. Eddy Leo, M.Th., Metanoia Publishing, Cetakan Pertama, Maret 2007, hlm. 24 – 30.

27 Maret 2007

Istri Menyervis Suami?

Minggu sore (25/3) yang lalu, istri saya pulang dari sebuah retreat di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Ia menumpang mobil milik sepasang suami istri. Dalam perjalanan pulang itulah sang suami bertanya kepada Debby, istri saya, bagaimana supaya istrinya mau menyervis dia. Menurutnya, kalau begini terus, lama-lama ia bisa ‘jatuh’ juga. Mendengar itu, istrinya kontan menjawab, “Kamu kasih dulu dong uang yang banyak. Saya pasti mau nyervis kamu.”

Debby menjawab sang istri, “Wah, kamu mesti ikut Wanita Bijak (nama sebuah pelayanan khusus untuk wanita). Di Wanita Bijak, memang banyak tuh istri-istri yang minta segala macam kepada suaminya. Ada yang minta dibelikan hp, baru mau melayani suaminya.” Debby menambahkan, bahwa pada akhir sesi yang membahas tentang permintaan para istri tersebut, banyak wanita yang maju ke depan untuk menyatakan penyesalannya dan berkomitmen untuk tidak melakukannya lagi.

Malam itu di meja makan, setelah Debby bercerita tentang percakapannya dengan kedua temannya itu, sebenarnya saya ingin mengatakan sesuatu. Namun, saya menahannya. Saya memang tipe orang yang tidak cepat berbicara, kalau saya merasa bahwa omongan saya mungkin kurang tepat. Jadi, saat itu saya hanya menjadi pendengar yang baik.

Pagi ini (Selasa, 27/3), saya berkesempatan untuk membahas percakapan Debby dengan kedua temannya itu lagi. Saya mengungkapkan kalimat yang sudah ada di benak saya sejak Minggu malam, “Harusnya kamu jawab begini kepada suaminya. Kayak suami saya dong, dia yang nyervis saya!” Ya, pembaca, ini memang urusan dalam negeri. Tetapi di sini terkandung sebuah konsep yang mendalam. Saya akan membahasnya dalam artikel berikutnya.

Mendengar ucapan saya, Debby langsung menjawab, “Iya, di kantor, saya juga pernah bilang ke teman-teman (wanita), bahwa saya gak akan berselingkuh, karena untuk urusan yang satu itu saya mendapat pelayanan yang memuaskan (diservis).” Ia malah berani berkata kepada teman-temannya, “Kalian pada nyervis, kan?”

20 Maret 2007

Gaya Hidup Suami Istri Menentukan Kualitas Keturunan

Pada paruh pertama abad ke-18 hidup seorang hamba Tuhan bernama Jonathan Edwards. Ia menikah dengan seorang gadis yang takut akan Tuhan. Kemudian mereka berdua menjadi misionaris di India.

Pada masa yang sama, hidup pula seorang atheis bernama Max Jukes yang menikah dengan sesama atheis. Setelah beberapa generasi terlihat nyata perbedaan di antara kedua keluarga tersebut.

Dari keluarga Jukes (sang atheis) lahir 310 orang yang mati sebagai gembel, 150 orang penjahat, 7 orang pembunuh, dan 100 orang pemabuk berat. Selain itu, hampir separuh keturunan mereka menjadi pelacur, dan 540 orang menjadi beban negara yang memboroskan keuangan negara tak kurang dari US$ 250.000.

Sedangkan dari keluarga Edwards (sang hamba Tuhan) lahir 13 orang rektor, 65 profesor, 3 senator AS, 30 hakim, 100 pengacara, 60 dokter, 75 perwira angkatan darat dan laut, 100 penginjil dan pendeta, 60 penulis terkenal dalam disiplin ilmu masing-masing, 1 wakil presiden AS, 80 pemuka masyarakat, dan 195 alumnus universitas yang menjadi gubernur dan menteri. Tak seorang pun dari 1.394 keturunan mereka yang didata memboroskan dan menjadi beban keuangan negara, satu sen pun tidak.

Ternyata gaya hidup suami istri sangat menentukan kualitas keturunan mereka.

Sumber: The Broadcaster (Buletin YASKI), Volume 37, Januari 2007, hlm. 9.


Artikel Terbaru Blog Ini